Ketika seseorang hendak mengajukan sebuah pinjaman ke institusi finansial, baik bank maupun nonbank, mereka akan melewati sebuah proses analisis kelayakan kredit alias credit scoring. Institusi terkait akan mencari tahu track record calon nasabahnya untuk memastikan mereka memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjaman yang diajukan. Menariknya, proses tersebut kini sudah semakin modern, berkat perkembangan ekosistem credit scoring Indonesia yang terus menuju ke arah digital.
Apa itu Credit Scoring?
Credit scoring adalah sebuah proses pengolahan dan analisis data terkait finansial calon nasabah untuk menentukan tingkat kelayakan kredit untuk mendapatkan produk seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kartu kredit, dan lain-lain. Hasil akhirnya, seorang nasabah akan mendapatkan peringkat, mulai dari kategori sangat baik, baik, cukup, dan buruk. Dari sana, institusi keuangan akan lebih mudah untuk menentukan: (1) apakah pengajuan kredit calon nasabah tersebut diterima?; hingga (2) jika diterima, berapa besaran maksimal nilai kredit dan tenor yang akan diberikan?
Dalam mekanisme credit scoring Indonesia yang sudah ada sebelumnya, para lembaga finansial atau individu dapat melakukan pengecekan skor kredit seorang nasabah melalui BI Checking, yang sekarang sudah berubah menjadi Informasi Debitur (iDEB) atau Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Analisis kredit yang ada di sana bersumber dari data historis yang dilaporkan oleh lembaga finansial atas transaksi yang dilakukan oleh nasabah, baik itu tabungan, pinjaman, pembayaran, kredit perumahan, dan lain-lain. Salah satu faktor yang paling menentukan dari skor kredit adalah histori transaksi pinjaman sebelumnya, berkaitan dengan ketepatan waktu dalam mengembalikan hingga rasio keterlambatan.
Hal-hal yang membuat nilai Credit Score buruk
Seperti yang dijelaskan di atas, sistem credit scoring yang masih banyak dipakai memang mengharuskan calon nasabah untuk memiliki track record baik dalam pinjaman sebelumnya. Bahkan saat calon peminjam tersebut tidak punya histori pinjaman, terkadang prosesnya menjadi lebih lama karena analis kredit di lembaga finansial harus melakukan identifikasi lebih lanjut terhadap data finansial lainnya.
Namun demikian, sebenarnya ada beberapa faktor yang bisa dipetakan dan menjadi alasan mengapa calon nasabah tidak mendapatkan skor yang baik, sebagai berikut:
- Pembayaran cicilan atas pinjaman sebelumnya tidak lancar.
- Terlalu sering mencapai limit kredit yang ditetapkan.
- Pembayaran hanya didasarkan pada nominal minimum, khususnya pada produk kartu kredit.
- Tidak memiliki rekening tabungan atau jarang bertransaksi.
- Terlalu banyak kanal kredit yang digunakan.
Jelas variabel pengukuran yang ada tersebut menjadi ironi, karena pada faktanya menurut data yang disampaikan OJK, sekitar 51% dari penduduk dewasa atau 95 juta penduduk Indonesia tidak memiliki rekening bank. Artinya, kalaupun mereka akan mulai membuka rekening baru dan mengajukan kredit, maka skor yang didapat pasti kurang baik.
Bagaimana Open Finance Credit Scoring diterapkan SkorFin
Melihat gap tersebut, Open Finance hadir menawarkan solusi alternatif untuk sistem credit scoring di Indonesia. SkorFin adalah salahsatu produk Finantier yang menyediakan credit score untuk penggunanya. Visi kami menjadi lapisan infrastruktur yang memberdayakan perusahaan fintech dan lembaga keuangan di Asia Tenggara.
Terkait credit scoring, inovasi yang kami suguhkan melalui Open Finance adalah memungkinkan seorang nasabah untuk mendapatkan penilaian yang lebih komprehensif. Sistem skoring SkorFin mengagregasi data digital dari berbagai sumber seperti nilai SLIK OJK, konsumsi pulsa untuk layanan telekomunikasi, histori pembayaran listrik, dan lain-lain — di mana data tersebut sangat relevan untuk menilai kemampuan “daya beli” seorang calon nasabah.

Sebagai layanan alternative credit scoring, Open Finance tidak mencoba meniadakan sistem yang ada sebelumnya seperti SLIK. Justru sebaliknya, kami ingin membantu lembaga finansial untuk meningkatkan kualitas dan cakupan sistem penilaian kredit mereka. Sehingga pada akhirnya dapat memberikan layanan ke kalangan nasabah yang lebih luas, seperti menyasar kalangan pengusaha mikro yang tengah berkembang pesat di Indonesia.
Layanan alternative credit scoring sendiri saat ini telah diregulasi dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Landasannya adalah perkembangan ekosistem finansial yang berkembang pesat, khususnya di ranah digital.
Pada akhirnya, dengan bantuan Open Finance model analisis kredit dapat dilakukan lembaga finansial secara lebih mendalam. Hal ini tentu juga akan menghadirkan keuntungan tersendiri bagi kalangan masyarakat, khususnya di tengah rekonsiliasi peningkatan ekonomi pascakrisis, di mana banyak sekali pelaku UMKM yang membutuhkan akses kredit untuk kembali mengakselerasi usahanya.